Mari Jadikan Golput Tidak Relevan

Partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan presiden dan kepala daerah serta anggota legislatif adalah suatu keniscayaan dalam suatu proses demokrasi. Lalu mengapa kita perlu khawatir ketika partisipasi politik dalam pemilu ini berkurang (angka golput bertambah)? Yang kita khawatirkan adalah Jika ternyata meningkatnya angka golput tersebut adalah indikasi dari meningkatnya apatisme publik terhadap demokrasi. Sikap apatisme publik ini merugikan karena sikap ini akan menjadikan pemilu sebagai penghadir wakil-wakil rakyat yang merepresentasikan sepenuhnya komponen bangsa dengan beragam variannya tidak terwujud secara prima.

Hal itu mengindikasikan pula adanya sekelompok anak bangsa yang merasa tidak memiliki dan bahkan tidak peduli dengan kinerja lembaga-lembaga negara penting eksekutif dan legislatif. Yang lebih perlu dikhawatirkan lagi jika meningkatnya angka golput tersebut mencerminkan akumulasi kekecewaan dan kemarahan sebagian kelompok masyarakat terhadap kinerja para elit yang menjalankan lembaga-lembaga negara tersebut. Kalau faktor kemarahan dan kekecewaan ini yang melatar-belakangi sikap golput maka itu juga berarti bahwa semakin tinggi angka golput maka semakin rentan untuk terjadinya shock terhadap kondisi ekuilibrium di pasar politik. Shock itu bisa bersifat pasif seperti lahirnya ketiadaan tanggung-jawab dan ketidak pedulian terhadap keberlangsungan kehidupan bernegara atau bersifat aktif seperti lahirnya luapan-luapan kejengkelan sosial yang bisa menimbulkan konflik atau bahkan revolusi.

Dalam pemilu 2009 ini seharusnya golput menjadi tidak relevan, mengapa? Pertama, tidak ada hambatan bagi setiap anak bangsa untuk masuk dalam pasar politik bersaing secara sehat untuk mendapatkan jabatan publik penting di eksekutif dan legislatif. Di kekinian kita hari ini setiap orang yang mempunyai keinginan untuk berkontribusi aktif dalam kehidupan bernegara dengan cara menjadi pemimpin eksekutif atau anggota legislatif terbuka luas. Bisa melalui jalur parpol yang ada, kalaupun tidak puas dengan parpol yang ada, yang bersangkutan bisa mendirikan parpol sendiri atau berjuang melalui jalur independen seperti menjadi anggota DPD atau kepala daerah.

Kedua, tidak ada lagi transaksi politik yang oligarkhis dalam penempatan para wakil rakyat kita semenjak Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa pemilihan anggota legislatif dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Keputusan MK tersebut menyebabkan para pemilik suara bisa memilih tokoh-tokoh yang sesuai dengan ekspetasinya menjadi wakilnya di lembaga legislatif tanpa perlu merasa khawatir bahwa tokoh yang diidolakannya dikalahkan secara tidak fair karena proses pemilihan anggota legislatif yang berdasarkan nomor urut seperti yang kita alami sebelumnya.

Tetapi walaupun begitu, realitas tingginya angka golput sejumlah pilkada mengindikasikan bahwa angka golput pada pemilu dan pilpres 2009 juga akan meningkat. Kekhawatiran inilah yang tampaknya melatar-belakangi mengapa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haramnya Golput. Pertanyaannya mengapa angka golput bisa meningkat pada pada pemilu 2009? Jawaban singkatnya tidak lain karena kejenuhan-kejenuhan sosial masyarakat mengikuti sekuen ritual demokrasi dalam bentuk pilkada, pilpres dan pemilihan legislatif yang tidak menghasilkan output yang kontributif terhadap kesejahteraan mereka.

Ritual demokrasi yang melelahkan tersebut ternyata kemudian hanya menempatkan sebagian besar elit-elit di lembaga legislatif dan eksekutif yang gagal menghadirkan dirinya sebagai negarawan. Bahkan yang lebih memprihatinkan ketika ternyata ritual demokrasi yang mahal dan meletihkan tersebut ternyata menghasilkan para rent seeking dan broker politik yang menjadikan jabatan dan wewenang yang dimilikinya untuk ditransaksikan kepada pihak-pihak yang berani membayar mahal bukan ditransaksikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sesungguhnya setiap entitas politik dan politisi hari ini seharusnya berkepentingan menjadikan golput menjadi tidak relevan, bukan untuk kepentingan siapa-siapa tetapi untuk kepentingan mereka sendiri. Menjadikan golput tidak relevan indentik dengan menghadirkan kinerja parpol dan politisi yang totalitas untuk kepentingan rakyat. Hal itu juga berimplikasi persaingan dari kompetitor bagi parpol atau politisi yang bekerja totalitas untuk kepentingan rakyat menjadi tidak relevan pula karena dengan karakter yang dibangun oleh entitas politik yang sedemikian itu maka sesungguhnya mereka telah menciptakan pasar politik spesifik bagi mereka yang sulit untuk diambil para kompetitornya.

Hal itulah yang bisa kita lihat dari fenomena Obama, dengan keberhasilannya menghadirkan diri sebagai tokoh dengan karakter yang dibutuhkan oleh rakyat AS maka ia menjadikan golput di AS menjadi turun (tidak relevan) dan sekaligus ia menjadikan kompetisi dengan kompetitornya (MCain) menjadi tidak relevan pula karena ia telah menciptakan konsumen politik tersendiri yang tidak mungkin diambil oleh kompetitornya.
This e-mail address is being protected from spambots, you need JavaScript enabled to view it
Posting : sdy ( This e-mail address is being protected from spambots, you need JavaScript enabled to view it )